NOWTIZEN.TV, LAMPUNG (15/9/2023) – Konflik tanah antara masyarakat Adat Melayu melawan Badan Pengusahaan (BP) Batam dan PT Makmur Elok Graha milik Tomy Winata yang kemudian mengajak investor asing China, Xinyi International Investment Limited di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, telah menarik perhatian di media sosial dan berbagai grup WhatsApp. Kehebohan ini telah memicu refleksi kembali terhadap konsep tanah dalam kerangka kebudayaan dan sejarah sosial.
Dalam konteks kebudayaan, fungsi tanah bagi masyarakat adat tak hanya memiliki arti yang profan, melainkan juga memiliki dimensi yang sakral. Tanah, dalam pengertian profan, bagi masyarakat adat berhubungan dengan pemakaian sehari-hari, seperti tempat mencari rezeki, tempat tinggal, atau sumber daya alam yang mendukung kehidupan mereka.
Namun, tanah juga memiliki signifikansi aspek sakral, terkait dengan keyakinan dan ritual keagamaan. Tanah sakral sering dianggap sebagai tempat-tempat yang memiliki ikatan istimewa dengan roh leluhur, dewa-dewa, atau entitas spiritual lainnya. Tanah ini digunakan untuk upacara keagamaan, peribadatan, atau penghormatan kepada nenek moyang mereka.
Menjaga tanah leluhur dianggap sebagai cara untuk memelihara harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. Dalam banyak masyarakat adat di seluruh dunia, gagasan ini mencerminkan pemahaman bahwa manusia tidak dapat hidup secara terpisah dari alam atau Tuhan. Dengan merawat dan melindungi alam, mereka juga merawat hubungan mereka dengan entitas spiritual dan Tuhan. Ini adalah konsep kehidupan yang berkelanjutan yang dipegang teguh oleh masyarakat adat.
*Tanah Adat*
Menurut data yang disajikan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), terdapat sebanyak 2.371 komunitas adat yang tersebar di 31 Provinsi di Indonesia, dengan jumlah penduduk mencapai sekitar 70 juta jiwa. Data tersebut juga mengungkapkan bahwa komunitas adat terbesar berada di Pulau Kalimantan, dengan jumlah 772 komunitas, disusul oleh Sulawesi dengan 664 komunitas, Sumatera dengan 392 komunitas, Bali dan Nusa Tenggara dengan 253 komunitas, Maluku dengan 176 komunitas, Papua dengan 59 komunitas, dan Jawa dengan 55 komunitas (sumber: katadata.co.id, 29 Mei 2023).
Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), melalui platform betahita.id, mengungkapkan bahwa hingga Agustus 2022, telah tercatat sebanyak 1.119 peta wilayah adat yang mencakup area seluas 20,7 juta hektar. Dari jumlah tersebut, sekitar 189 wilayah adat dengan luas mencapai 3,1 juta hektar telah memperoleh pengakuan resmi melalui Peraturan Daerah (Perda) dan Surat Keputusan kepala daerah provinsi atau kabupaten/kota. Kendati demikian, masih ada wilayah adat seluas sekitar 17,7 juta hektar yang belum mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah daerah. Oleh karena itu, saat ini hanya sekitar 15 persen dari total wilayah adat yang telah diakui secara sah oleh pemerintah daerah.
Ironisnya, wilayah-wilayah yang telah mendapatkan pengakuan resmi bukanlah yang tengah berkonflik. Di sisi lain, kebijakan investasi yang semakin menggurita telah menjalar ke wilayah-wilayah adat, seperti pembangunan kawasan pariwisata, perkebunan berskala besar, dan aktivitas pertambangan. Dampaknya adalah ancaman yang sangat besar terhadap kemungkinan penggusuran masyarakat adat dan masyarakat lokal di masa mendatang. Salah satu contoh nyata yang tengah terjadi adalah konflik yang sedang melibatkan masyarakat adat Melayu di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau saat ini.
Mengkaji sejarah pertanahan yang selalu mengeksploitasi masyarakat adat dan komunitas lokal, tidak mungkin dilepaskan dari bayang-bayang aturan kolonial yang menerapkan Cultuur Stelsel atau sistem tanam paksa, yang kemudian diikuti dengan pemberlakuan “agrarische wet” pada tahun 1870. Dalam kerangka aturan tersebut, investor diberikan hak erfpacht (hak guna usaha) yang memberi mereka legitimasi untuk menguasai tanah yang selama ini menjadi milik masyarakat adat dan komunitas lokal.
Pada tahun 1960, UU Pokok Agraria diberlakukan sebagai pengganti aturan kolonial, dan hal ini dianggap sebagai harapan baru untuk mewujudkan keadilan dalam kepemilikan tanah bagi petani dan rakyat kecil. Namun, pelaksanaan kebijakan yang bertujuan untuk mendistribusikan tanah kepada rakyat tidak berjalan dengan mulus.
Kemudian disusul Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya, yang sering disebut sebagai “UU Pencabutan Hak Tanah”, merupakan peraturan yang memberikan pemerintah hak untuk mencabut hak atas tanah dan benda yang ada di atasnya untuk kepentingan umum, seperti pembangunan infrastruktur atau proyek-proyek pembangunan nasional.
Meskipun UU Pencabutan Hak Tanah ini dimaksudkan untuk mendukung pembangunan nasional dan infrastruktur yang lebih besar, pelaksanaannya seringkali menjadi kontroversial dan menimbulkan masalah. Sebagian masyarakat menganggap bahwa pembebasan tanah yang dilakukan pemerintah seringkali tidak adil, karena pemilik tanah sering kali mendapatkan kompensasi yang rendah dan proses pembebasan tanah tidak selalu transparan. Hal ini menyebabkan ketidakpuasan dan protes dari pemilik tanah yang terkena dampak.
Presiden Soekarno memegang peranan penting dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan UU Pencabutan Hak Tanah ini. Keputusan untuk mencabut hak tanah untuk kepentingan umum memang dapat memiliki dampak signifikan pada hak milik individu, dan hal ini telah menimbulkan perdebatan dan kontroversi selama bertahun-tahun.
Kontroversi seputar UU Pencabutan Hak Tanah ini juga menjadi bagian dari sejarah agraria dan politik tanah di Indonesia, yang terus menjadi perhatian dalam upaya mewujudkan keadilan dalam kepemilikan tanah bagi petani dan rakyat kecil, seperti yang disebutkan dalam konteks tahun 1960 UU Pokok Agraria yang diharapkan akan membawa perubahan positif.
Periode Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Suharto menciptakan perubahan signifikan dalam kebijakan pertanahan dan penguasaan tanah. Pemerintahan Suharto menekankan investasi sebagai prioritas utama untuk pertumbuhan ekonomi, dan dalam prosesnya, sering kali menggunakan metode yang kontroversial, termasuk penggunaan kekerasan untuk merebut wilayah tanah adat yang dikuasai oleh masyarakat di berbagai daerah.
Tindakan ini seringkali bertentangan dengan upaya untuk memberikan kepastian hukum dan hak atas tanah, terutama bagi masyarakat adat. Sebaliknya, UU Pencabutan Hak Tanah yang sebelumnya digunakan untuk kepentingan umum, dipakai untuk mengusir masyarakat adat guna melegalkan investasi perkebunan skala besar dan industri ekstraktif lainnya.
Tindakan represif oleh aparat keamanan dalam upaya penggusuran tanah seringkali mengakibatkan dampak serius bagi masyarakat adat. Banyak dari mereka terpaksa menghindar atau berpindah tempat untuk menghindari konflik dan kekerasan yang terjadi dalam upaya melindungi tanah dan sumber daya. Ini menjadi salah satu masalah sosial dan hak asasi manusia yang mendalam selama masa Orde Baru.
Dalam disertasi yang disusun oleh Adam D. Tyson pada tahun 2010 yang berjudul “Decentralization and Adat, Revivalism in Indonesia: The Politics of Becoming Indigenous,” dijelaskan bahwa kebijakan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, yang menekankan investasi melalui UU Penanaman Modal Asing, memberikan manfaat bagi kapitalisme, namun mengorbankan masyarakat adat. Fenomena kebangkitan masyarakat adat, atau dikenal sebagai revivalism, baru muncul setelah era reformasi. Masyarakat adat mulai merumuskan strategi untuk merebut kembali tanah yang telah dikuasai oleh korporasi dengan memanfaatkan UU Otonomi Daerah. Beberapa upaya berhasil, sementara yang lain mengalami kesulitan, seperti yang terjadi pada kasus masyarakat adat Kajang di Kabupaten Bulukumba, yang masih terombang-ambing dan menantikan kebijakan dari Pemerintah Pusat.
Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya kemudian diperbaharui dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012. Aturan tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum untuk mengatur proses pengadaan tanah oleh pemerintah untuk kepentingan umum, termasuk pembangunan infrastruktur dan proyek-proyek pembangunan nasional lainnya. Undang-undang ini merupakan penyempurnaan dan pembaruan dari UU Pencabutan Hak Tanah yang telah ada Tahun 1961.
UU No 2 Tahun 2012 memiliki tujuan dalam hal memberikan perlindungan dan kompensasi yang lebih baik kepada masyarakat yang terkena dampak, pelaksanaannya tetap menjadi tantangan di lapangan. Masih ada tantangan dalam menjaga agar proses ini berjalan dengan benar dan tidak menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat yang terkena dampak. Kondisi lapangan terkadang terjadi penggusuran paksa tanpa ada sosialisasi dan dialog dengan masyarakat setempat.
*Tanah dan Konflik Sosial*
Tanah telah lama menjadi sumber konflik sosial dalam sejarah peradaban manusia, bahkan sering kali memicu revolusi atau perubahan kepemimpinan secara cepat di berbagai negara. Sejarah Revolusi Oktober di Rusia tahun 1917 adalah salah satu contoh terkenal, di mana salah satu pemicu utama adalah ketidakadilan dalam kepemilikan tanah yang dipegang oleh kaum bangsawan Rusia. Peter Kropotkin, seorang pemikir anarkis, turut membantu Lenin dalam kampanye isu pemilikan tanah untuk petani kecil dan miskin. Setelah Lenin berhasil merebut kekuasaan, salah satu kebijakan utamanya adalah membagikan tanah kepada petani kecil dan miskin sebagai langkah menuju keadilan sosial.
Revolusi Prancis tahun 1793 merupakan contoh lain yang menunjukkan betapa pentingnya peran tanah dalam dinamika sosial. Maxmillien de Robespierre, dengan bantuan Jean Paul Marat, seorang wartawan ternama, memanfaatkan propaganda mengenai tanah untuk rakyat demi mengumpulkan dukungan untuk agenda revolusi. Hasilnya, Raja Louis XVI akhirnya digulingkan dan dieksekusi. Maximilien de Robespierre, yang kemudian berkuasa, mengimplementasikan reformasi agraria dengan cara mengambil tanah dari kaum bangsawan dan gereja, kemudian membagikannya kepada petani kecil dan miskin sebagai langkah menuju keadilan sosial.
Modero, seorang pejuang revolusioner di Meksiko pada tahun 1910, mengambil isu tanah sebagai alat utama untuk merebut kekuasaan. Ia kemudian menjabat sebagai Presiden Meksiko pada tahun 1911. Namun, nasibnya berubah saat ia dituduh terlibat dalam pembunuhan sahabatnya, Emilio Zapata. Selain itu, Modero juga tidak menerapkan agenda reforma agraria yang diharapkan oleh banyak pihak. Setelah dua tahun berkuasa, Modero akhirnya digulingkan oleh sahabatnya sendiri, Venustiano. Setelah pergantian kepemimpinan ini, kebijakan reforma agraria yang mencakup pembagian tanah kepada petani kecil mulai dijalankan.
Situasi serupa terjadi di Pulau Sisilia, Italia. Gagalnya kebijakan reforma agraria berdampak buruk terhadap petani kecil yang terus hidup dalam kemiskinan. Kepemilikan tanah tetap berada di tangan para bangsawan dan pemilik tanah yang kaya. Kondisi ini mendorong masyarakat untuk terlibat dalam kelompok mafia sebagai cara bertahan hidup. Salah satu kelompok mafia yang terkenal di Sisilia, yang juga dikenal dengan sebutan Cosa Nostra, tetap menjadi ancaman yang menakutkan di Benua Eropa hingga saat ini.
*Kesimpulan*
Masyarakat adat telah lama menjadi korban penindasan dalam pengelolaan tanah, melalui berbagai tahap pemerintahan yang dimulai sejak zaman kolonial, berlanjut pada era Orde Baru dengan kebijakan investasi yang sering kali mengorbankan hak-hak masyarakat adat. Pasca reformasi, muncul kebangkitan masyarakat adat yang berjuang untuk mengembalikan hak-hak mereka atas tanah. Namun di saat-saat terakhir masa pemerintahan Presiden Jokowi, banyak dari upaya masyarakat adat disingkirkan, seperti yang terjadi di Pulau Rempang, Batam, saat ini. Situasi ini menjadi bukti bagaimana perjuangan masyarakat adat dalam mengelola dan merawat serta mempertahankan tanah mereka terus mengalami tantangan selama berabad-abad.
Kasus Masyarakat Adat Melayu Rempang proyek melawan Rempang Eco City, Pemerintah dalam konteks ini, hanya sebatas kerjasama dengan Perusahaan swasta PT Makmur Elok Graha, milik Tomy Winata, yang kemudian mengajak investor asing China, Xinyi International Investment Limited. Dalam kasus ini, penting untuk memahami bahwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum seharusnya digunakan secara benar dan hanya untuk proyek-proyek yang memang benar-benar dalam kepentingan umum, bukan untuk tujuan komersial yang menguntungkan perusahaan swasta.
Dalam kasus Rempang, penting untuk menghormati dan tidak mengorbankan hak-hak masyarakat adat demi kepentingan komersial. Pihak terkait harus mendengarkan dan berdialog dengan masyarakat adat serta mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial dari proyek tersebut sebelum memutuskan apakah proyek tersebut dapat dilanjutkan.
Program distribusi tanah yang telah dijalankan oleh pemerintahan Jokowi, seperti pemberian sertifikat tanah, program Perhutanan Sosial (PS), dan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA), sebenarnya telah berjalan cukup baik selama 10 tahun terakhir. Sayangnya, keberhasilan program ini tidak selalu diikuti oleh penyelesaian konflik agraria yang telah lama terjadi, terutama dalam kasus tanah yang telah lama dikuasai oleh masyarakat adat, komunitas lokal, dan masyarakat miskin di perkotaan.
Program distribusi tanah yang diinisiasi oleh Jokowi kadang terlupakan oleh publik ketika berbagai konflik agraria yang memprihatinkan terus berlanjut. Contohnya, kasus penindasan yang terjadi dalam konflik agraria seperti di Rembang dan Wadas, penggusuran paksa Kampung Melayu dan Pasar Ikan di Jakarta, Konflik antara masyarakat lokal dan perusahaan tambang di Pulau Kecil Wawonii, Sulawesi Tenggara, serta konflik masyarakat adat Dayak Marjun di Kalimantan yang melawan perusahaan kelapa sawit. Demikian pula, konflik masyarakat adat Buay Mencurung yang berhadapan dengan perusahaan kelapa sawit di Mesuji, Lampung, dan masih banyak kasus lainnya yang belum terselesaikan dengan baik.
Prinsip bahwa tanah yang dikuasai oleh negara harus digunakan untuk kesejahteraan rakyat, dan bukan sebagai alat eksploitasi atau penindasan terhadap masyarakat, merupakan nilai yang sangat mendasar dalam hukum dan konstitusi Indonesia. Prinsip ini telah tertanam dalam Undang-Undang Dasar 1945 maupun Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960. Prinsip ini sejatinya mencerminkan tekad negara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya melalui pengelolaan sumber daya alam, termasuk tanah, dengan cara yang adil dan berkelanjutan.
Presiden Jokowi akan segera mengakhiri masa pemerintahannya, oleh karena itu, tim sukses calon Presiden untuk pemilihan 2024 harus mempersiapkan konsep yang matang dalam pengaturan sistem pertanahan. Mencakup strategi distribusi tanah dan skema penyelesaian konflik agraria yang sering melibatkan masyarakat yang berjuang melawan korporasi dalam sektor pertambangan, perkebunan kelapa sawit, perkebunan berskala besar, dan proyek infrastruktur investasi asing.
Calon Presiden untuk tahun 2024 harus merumuskan konsep kebijakan pertanahan yang berpihak kepada masyarakat adat, masyarakat lokal, dan warga miskin di perkotaan. Hal ini bertujuan untuk mencegah timbulnya kekacauan sosial bahkan berpotensi revolusi, sebagaimana yang terjadi di Rusia, Prancis, dan Meksiko pada masa lalu, atau bahkan risiko terbentuknya kelompok mafia seperti yang terjadi di Sisilia, Italia.
Penulis : Cheiriel – Pemerhati Sosial