LAMPUNG TIMUR (30/1/2025) – Seperti sebongkah tanah yang terus digali dan diolah oleh tangan-tangan petani, konflik agraria di Lampung Timur sudah berlangsung lama. Namun, pada Kamis, 30 Januari 2025, sebuah momen penting terjadi saat Polda Lampung dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lampung Timur menggelar peninjauan langsung ke lahan sengketa di Desa Wana. Kunjungan ini, yang disertai dengan pengawalan ketat dari Serikat Petani Lampung (SPL), menjadi tanda bahwa kasus ini mulai mendapat perhatian serius.
Konflik ini bermula dari terbitnya 182 Sertifikat Hak Milik (SHM) yang muncul tanpa sepengetahuan petani yang telah menggarap lahan tersebut selama puluhan tahun.
Lahan seluas lebih dari 400 hektare yang dulu menjadi tempat bertani dan bertahan hidup kini menjadi medan pertarungan sengit. Petani yang merasa dirugikan menuding ada praktik mafia tanah yang melibatkan pihak-pihak tak bertanggung jawab yang berusaha mengklaim hak atas tanah yang bukan miliknya.
“Lahan yang kami garap turun-temurun tiba-tiba diklaim oleh orang lain, kami merasa dizalimi. Apa yang sudah kami perjuangkan selama ini, seolah tak berarti lagi,” ujar salah seorang petani dengan nada penuh kekecewaan.
Peninjauan yang dilakukan oleh pihak kepolisian dan BPN ini bukanlah langkah pertama. Pada 29 Mei 2024, masyarakat telah melaporkan permasalahan ini ke Polda Lampung. Namun, lambannya proses penanganan membuat mereka kembali datang pada Oktober 2024. Rasa frustrasi mereka semakin meningkat ketika mereka merasa tak ada perkembangan berarti. Mereka tak hanya datang ke Polda, tetapi juga membawa persoalan ini ke ranah nasional dengan mengadu ke Kementerian ATR/BPN di Jakarta.
Prabowo Pamungkas, Kadiv Advokasi YLBHI LBH Bandarlampung, yang turut mengawal kasus ini, mengungkapkan ketidakpuasan masyarakat atas jalan yang masih terasa lambat.
“Masyarakat menuntut transparansi dan penyelesaian yang berpihak pada rakyat. Jangan sampai semua ini hanya jadi basa-basi tanpa ada tindakan nyata,” ungkapnya dengan tegas.
Dalam perjalanan konflik ini, muncul pertanyaan besar dari masyarakat: Apakah janji pemerintah untuk memberantas mafia tanah hanya sekadar slogan belaka?
“Ketika Menteri ATR/BPN bilang akan ‘gebuk mafia tanah', kami bertanya, mafia tanah mana yang sebenarnya diberantas? Siapa yang sebenarnya dilindungi dalam kebijakan ini?” Prabowo menambahkan.
Dengan situasi yang semakin memanas, harapan masyarakat pun terus bergulir. Mereka menginginkan sebuah keadilan yang nyata, bukan hanya seremonial belaka. Peninjauan yang dilakukan oleh Subdit 2 Unit Harda Polda Lampung dan BPN Lampung Timur menjadi langkah awal yang disambut penuh harapan oleh para petani. Tak hanya itu, BPN juga sudah menerbitkan surat pemblokiran terhadap 182 SHM yang bermasalah, memberikan sedikit titik terang dalam gelapnya sengketa ini.
Masyarakat, yang didampingi LBH Bandarlampung, berharap peninjauan ini tidak hanya berhenti pada seremoni semata. Mereka mendambakan penyelesaian yang seimbang dan berpihak pada mereka sebagai petani yang telah menggarap lahan tersebut selama puluhan tahun.
“Petani hanya menuntut agar negara hadir melindungi hak-hak mereka,” ujar Prabowo.
Bagi mereka, kata kunci dalam konflik agraria ini adalah keadilan. “Keselamatan rakyat, bukan keuntungan segelintir elit. Tanah adalah milik rakyat yang menggarap, bukan yang sekadar mengklaim,” tutupnya dengan penuh semangat.
(BANG WAHYU)