MARGATIGA (1/5/2015) – Klinik Aditya kini menjadi sorotan setelah sejumlah pasien melaporkan dugaan pelanggaran prosedur pelayanan BPJS. Meskipun terdaftar sebagai peserta BPJS dengan fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama di klinik tersebut, mereka tetap dikenakan biaya rawat inap yang tidak sedikit, mulai dari Rp500 ribu hingga Rp1,5 juta.
Salah satu pasien, AM, yang berobat di klinik tersebut, mengungkapkan pengalaman tidak mengenakkan. Ia menyebutkan bahwa meskipun kurang memahami status faskes pertama yang tertera dalam BPJS-nya, AM tetap diminta membayar biaya rawat inap ratusan ribu rupiah saat berobat di Klinik Aditya. Meskipun demikian, uang tersebut akhirnya dikembalikan oleh pihak klinik.
“Pas daftar, ditanya data BPJS. Tapi pas pulang, dimintai uang. Belakangan baru dikembalikan,” ujar AM, mengisahkan pengalamannya pada Rabu (30/4/2025).
Namun, ketika Direktur Klinik Aditya, Nyoman, dimintai konfirmasi terkait masalah ini, ia memberikan penjelasan yang tampak kontradiktif. Pertama, Nyoman menyatakan bahwa biaya tersebut dikenakan karena pasien menerima obat di luar ketentuan BPJS. Namun, kemudian ia meralat pernyataannya dengan menyatakan bahwa pasien tersebut sebenarnya bukanlah peserta faskes pertama di kliniknya.
Pernyataan Nyoman ini segera dibantah oleh Kepala Desa Negeri Jumanten, Halim, yang mempertanyakan logika pengembalian uang jika pasien bukan peserta faskes pertama di klinik tersebut. Halim juga menilai ada ketidakjelasan dalam penanganan masalah ini.
“Kalau memang pasien umum, kenapa uangnya dikembalikan? Ini janggal,” ujar Halim dengan nada tegas.
Keluhan serupa juga datang dari warga lain, EK, yang mengungkapkan bahwa ia harus mengeluarkan biaya pribadi hingga total Rp900 ribu untuk dua kali rawat inap dan satu kali kontrol di Klinik Aditya, meskipun kartu BPJS-nya jelas mencantumkan klinik tersebut sebagai faskes pertama.
“Rawat inap pertama dikenai Rp550 ribu, kontrol kena Rp50 ribu, rawat inap kedua Rp300 ribu. Semua pakai uang pribadi,” kata Halim, yang juga mengungkapkan berbagai keluhan lainnya dari warga.
Warga yang miskin pun mengalami kesulitan, ada yang diminta menjaminkan KTP dan KK karena tidak mampu membayar biaya pengobatan. Bahkan, ada dugaan diskriminasi pelayanan terhadap pasien yang sempat mendapatkan pengembalian uang. Halim juga menyebutkan bahwa pasien yang uangnya dikembalikan justru dilarang untuk berobat lagi ke klinik tersebut.
“Dapat laporan, pasien yang uangnya dikembalikan malah dilarang berobat lagi ke klinik itu,” tandas Halim.
(BANG WAHYU)