BANDAR SRIBHAWONO (28/8/2024) – Di tengah panasnya terik matahari, Desa Mekarjaya, Kecamatan Bandar Sribhawono, Lampung Timur, berubah menjadi pusat perhatian pada Minggu (25/8/2024). Ratusan warga berkumpul di sekitar panggung sederhana yang terbuat dari papan kayu setinggi sekitar satu meter. Panggung itu dibatasi oleh pagar bambu, mengelilingi dua pria yang berdiri saling berhadapan. Panggung ini bukan sekadar arena, tetapi tempat berlangsungnya sebuah tradisi tua yang mendebarkan. Tiban, ritual sakral untuk memohon hujan di tengah musim kemarau yang kering.
Dua pria tersebut berdiri tegak, tanpa mengenakan baju, hanya mengenakan celana pendek dan ikat kepala. Masing-masing memegang sebuah pecut yang terbuat dari lidi pohon nira. Suara gong dan gendang mulai ditabuh, menciptakan irama yang mengiringi setiap gerakan mereka. Sorakan penonton semakin keras saat salah satu dari mereka mengangkat pecutnya tinggi-tinggi, dan cetas! suara sabetan pecut menggema, memecah udara yang panas dan mendarat di punggung lawannya.
Penonton bersorak, menyemangati para peserta yang tampak tidak gentar meski kulit mereka memerah akibat pukulan cambuk. Suara tabuhan gendang yang bertalu-talu semakin menambah intensitas suasana. Kedua pria itu, meskipun wajah mereka berkerut menahan sakit, terus melanjutkan sabetan demi sabetan dengan semangat yang tak surut. Dalam setiap sabetan yang diayunkan, tidak hanya kekuatan fisik yang diuji, tetapi juga ketahanan mental mereka.
Anam, salah satu juri yang bertindak sebagai penengah dalam ritual Tiban ini, menjelaskan aturan ketat yang harus diikuti oleh para peserta.
“Setiap orang hanya boleh melakukan tiga kali sabetan, dan itu pun harus ke bagian tubuh yang sudah ditentukan, seperti punggung atau dada. Jika sabetan mengarah ke kepala, itu langsung dianggap pelanggaran. Hukumannya adalah dikurangi satu kali kesempatan sabetan atau bahkan didiskualifikasi,” jelasnya dengan nada serius. Aturan ini dibuat untuk menjaga keselamatan peserta, tetapi tetap memberikan kesan kompetitif yang intens.
Setelah beberapa menit yang penuh ketegangan, kedua pria itu akhirnya mengakhiri duel mereka dengan saling bersalaman. Ritual Tiban ini bukanlah ajang permusuhan, melainkan sebuah bentuk penghormatan dan kepercayaan pada kekuatan alam dan leluhur. Mereka saling tersenyum meski tubuh mereka kini dihiasi bekas luka sabetan yang memerah.
Bagi Peyang, seorang pria berusia 48 tahun yang telah berulang kali mengikuti ritual Tiban, rasa sakit dari setiap sabetan adalah bagian dari keindahan tradisi ini.
“Perih? Tentu saja perih, tetapi di balik rasa sakit itu ada kebanggaan yang tidak bisa dijelaskan. Ada sesuatu dalam jiwa yang terasa bergelora setiap kali gendang mulai ditabuh dan panggung itu terbuka untuk kami,” kata Peyang, matanya bersinar dengan semangat.
Bagi Peyang dan banyak peserta lainnya, mengikuti Tiban adalah bentuk pengabdian kepada tradisi, sebuah kesempatan untuk menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka sendiri.
Tradisi Tiban ini telah berlangsung selama bertahun-tahun di Desa Mekarjaya, terutama ketika musim kemarau tiba. Dalam tradisi masyarakat setempat, Tiban dipercaya mampu memanggil hujan. Seiring berjalannya waktu, acara ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Desa Mekarjaya, bahkan melibatkan seluruh elemen masyarakat, mulai dari tokoh pemuda, tetua desa, hingga para penonton yang menyaksikan dengan penuh antusiasme.
Pada perhelatan kali ini, Tiban tidak hanya menjadi ritual untuk memohon hujan, tetapi juga cara masyarakat setempat untuk merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia yang ke-79.
“Seni budaya Tiban ini, selain menjadi sarana untuk memohon hujan, juga untuk memeriahkan HUT ke-79 Republik Indonesia,” ujar Edi Suyitno, salah satu tokoh masyarakat yang turut serta menyukseskan acara tersebut. Tidak hanya warga Desa Mekarjaya yang terlibat, namun juga pecinta budaya dari berbagai kecamatan di Lampung Timur hingga Lampung Tengah datang untuk meramaikan acara ini.
Setiap tahunnya, Tiban menjadi perayaan yang dinanti-nantikan, sebuah ajang yang menggabungkan kekuatan fisik, ketahanan mental, dan kekuatan spiritual. Para peserta dan penonton menyatu dalam semangat dan keyakinan yang sama—bahwa melalui sabetan pecut dan irama gendang yang menggetarkan, mereka dapat memohon kemurahan hati alam untuk menurunkan hujan, mengakhiri kemarau panjang yang menyengsarakan.
Dan ketika gendang berhenti dan panggung kembali sepi. Tradisi Tiban mungkin telah selesai, tetapi pengabdian kepada leluhur dan alam akan terus berlanjut, diwariskan dari generasi ke generasi, seiring doa-doa yang mengalun dalam setiap sabetan cambuk dan setiap detak jantung yang bergemuruh.
(BANG WAHYU)